Kebijakan Industri Nasional

Kebijakan Industri Nasional
Visi pembangunan Industri Nasional sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional adalah Indonesia menjadi Negara Industri Tangguh pada tahun 2025, dengan visi antara pada tahun 2020 sebagai Negara Industri Maju Baru, karena sesuai dengan Deklarasi Bogor tahun 1995  antar para kepala Negara APEC pada tahun tersebut liberalisasi di negara-negara APEC sudah harus terwujud.
Sebagai negara industri maju baru, sektor industri Indonesia harus mampu memenuhi beberapa kriteria dasar antara lain:
1.       Memiliki peranan dan kontribusi tinggi bagi perekonomian Nasional.
2.       IKM memiliki kemampuan yang seimbang dengan Industri Besar.
3.       Memiliki struktur industri yang kuat (Pohon Industri lengkap dan dalam).
4.       Teknologi maju telah menjadi ujung tombak pengembangan dan penciptaan pasar.
5.        Telah memiliki jasa industri yang tangguh yang menjadi penunjang daya saing internasional industri.
6.        Telah memiliki daya saing yang mampu menghadapi liberalisasi penuh dengan negara-negara APEC. Diharapkan tahun 2020 kontribusi industri non-migas terhadap PDB telah mampu mencapai 30%, dimana kontribusi industri kecil (IK) ditambah industri menengah (IM) sama atau mendekati kontribusi industri besar (IB). Selama kurun waktu 2010 s.d 2020 industri harus tumbuh rata-rata 9,43% dengan pertumbuhan IK, IM, dan IB masing-masing minimal sebesar 10,00%, 17,47%, dan 6,34%.
Untuk mewujudkan target-target tersebut, diperlukan upaya-upaya terstruktur dan terukur, yang harus dijabarkan ke dalam peta strategi yang mengakomodasi keinginan pemangku kepentingan  berupa strategic outcomes yang terdiri dari: 1) Meningkatnya nilai tambah industri, 2) Meningkatnya penguasaan pasar dalam dan luar negeri, 3) Kokohnya faktor-faktor penunjang pengembangan industri, 4) Meningkatnya kemampuan inovasi dan penguasaan teknologi industri yang hemat energi dan ramah lingkungan, 5) Menguat dan lengkapnya struktur industri, 6) Meningkatnya  persebaran pembangunan industri, serta 7) Meningkatnya peran industri kecil dan menengah terhadap PDB.

Dalam rangka merealisasikan target-target tersebut, Kementerian Perindustrian telah menetapkan dua pendekatan guna membangun daya saing industri nasional yang tersinergi dan terintegrasi antara pusat dan daerah. Pertama, melalui pendekatan top-down dengan pengembangan 35 klaster industri prioritas yang direncanakan dari Pusat (by design) dan diikuti oleh partisipasi daerah yang dipilih berdasarkan daya saing internasional serta potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kedua, melalui pendekatan bottom-up dengan penetapan kompetensi inti industri daerah yang merupakan keunggulan daerah, dimana pusat turut membangun pengembangannya, sehingga daerah memiliki daya saing. Pengembangan kompetensi inti di tingkat provinsi disebut sebagai Industri Unggulan Provinsi dan di tingkat kabupaten/kota disebut Kompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota. Pendekatan kedua ini merupakan pendekatan yang didasarkan pada semangat Otonomi Daerah. Penentuan pengembangan industri melalui penetapan klaster industri prioritas dan kompetensi inti industri daerah sangat diperlukan guna memberi kepastian dan mendapat dukungan dari seluruh sektor di bidang ekonomi termasuk dukungan perbankan.
Saat ini telah tersusun 35 Roadmap Pengembangan Klaster Industri Prioritas, yakni:
1.       Industri Agro, terdiri atas:
(1) Industri pengolahan kelapa sawit; (2) Industri karet dan barang karet; (3) Industri kakao; (4) Industri pengolahan kelapa; (5) Industri pengolahan kopi; (6) Industri gula; (7) Industri hasil Tembakau; (8) Industri pengolahan buah; (9) Industri furniture; (10) Industri pengolahan ikan; (11) Industri kertas; (12) Industri pengolahan susu.
2.       Industri Alat Angkut, meliputi: (13) Industri kendaraan bermotor; (14) Industri perkapalan; (15) Industri kedirgantaraan; (16) Industri perkeretaapian.
3.       Industri Elektronika dan Telematika: (17) Industri elektronika; (18) industri telekomunikasi; (19) Industri komputer dan peralatannya
4.       Basis Industri Manufaktur, mencakup:
·     Industri Material Dasar: (20) Industri besi dan baja; (21) Industri Semen; (22) Industri        petrokimia; (23) Industri Keramik
·         Industri Permesinan: (24) Industri peralatan listrik dan mesin listrik; (25) Industri mesin dan         peralatan umum.
·         Industri Manufaktur Padat Tenaga Kerja:  (26) Industri tekstil dan produk tekstil; (27) Industri    alas kaki;
5.       Industri Penunjang Industri Kreatif dan Kreatif Tertentu: (28) Industri perangkat lunak dan konten multimedia; (29) Industri fashion; (30) Industri kerajinan dan barang seni.
6.       Industri Kecil dan Menengah Tertentu:  (31) Industri batu mulia dan perhiasan; (32) Industri garam rakyat; (33) Industri gerabah dan keramik hias; (34) Industri minyak atsiri; (35) Industri


Refrensi : http://www.kemenperin.go.id/artikel/19/Kebijakan-Industri-Nasional

Kebijakan Pemerintah di Bidang Industri

Kebijakan Pemerintah di Bidang Industri

1.       Pembangunan industri diarahkan pada industri-industri yang berbasis pertanian dan pertambangan, dan kelautan yang mampu memberikan nilaitambah yang tinggi dan mampu bersaing dalam pasar lokal, regionalnasional, global dan mampu menghasilkan nilai tambah tinggi.
2.       Pengembangan IKM dan Industri Mikro (Industri Rumah Tangga), perludidorong dan dibina, menjadi usaha yang makin berkembang danmaju,sehingga mampu mandiri dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
3.       Menggalakkan iklim yang sehat dalam berusaha bagi pelaku ekonomi(koperasi, usaha negara, usaha swasta) untuk menumbuhkan kegiatanusaha yang mampu menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi.
4.       Meningkatkan pertumbuhan usaha kecil informal menjadi pengusaha kecilformal yang tangguh dan mandiri melalui bantuan pembangunaninfrastruktur, perijinan dan bantuan teknis.
5.       Meningkatkan dan mengoptimalkan perolehan devisa ekspor produk industri kehutanan, pertambangan, pertanian, dalam arti luas berikutindustri turunannya.
Kebijakan Pemerintah mengembangkan perekonomian di Indonesia berorientasi global membangun keunggulan kompetitif dengan mengedepankan kebijakan industri, perdagangan dan investasi dalam meningkatkan daya saing dengan membuka akses yang sama terhadap kesempatan berusaha dan kesempatan kerja bagi segenap rakyat dari seluruh daerah dengan menghapuskan seluruh perlakuan diskriminatif dan hambatan. Pengembangan sektor industri pengolahan mengacu kepada arahan pembangunan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan sektor industri dan perdagangan.
Pemerintah juga melakukan pembangunan yang ditujukan untuk perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan ekspor, peningkatan dan pemerataan pendapatan. Hasil yang hendak dicapai dari pembangunan ini adalah usaha kecil berperan maksimal dalam perkembangan dunia usaha, sehingga usaha kecil dapat berkembang dan mampu bersaing dengan pengusaha-pengusaha lainnya sesuai potensi dan bidang usaha yang ditekuninya selama ini.
Kebijakan ekonomi kerakyatan bertumpu pada mekanisme pasar yang adil, persaingan sehat, berkelanjutan, mencegah struktur yang monopolistik dan distortif dapat merugikan masyarakat. Melalui optimalisasi peran pemerintah untuk melakukan koreksi pasar dengan menghilangkan berbagai hambatan melalui regulasi, subsidi dan insentif. Pemberdayakan usaha kecil agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing dengan meningkatkan penguasaan IPTEK dan melakukan secara proaktif negosiasi serta kerjasama ekonomi dalam upaya peningkatan ekspor.
Arah kebijakan adalah salah satu menata sistem hukum nasional yangmenyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalu iprogram legislasi. Selanjutnya mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikankepentingan nasional. Perioritas kebijakan juga merupakan salah satu sasaranutama untuk dicapai dan langkah yang terpenting yang dilakukan oleh pemerintahdalam mengambil atau memutuskan suatu kebijakan.
Maka dalam ketentuan kebijaksanaan (policy) kebijakan adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjaminterhadap terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yangdikehendaki. Jadi dalam arti kebijaksanaan, titik beratnya adalah adanya proses pertimbangan untuk menjamin terlaksananya suatu usaha, pencapaian cita-citaatau keinginan yang dicapai tersebut, sehingga menghasilkan suatu buktikebijakan untuk kepentingan umum yang merobah keadaan untuk yang lebih baik.Untuk menentukan suksesnya percepatan pembangunan saat ini juga masadepan terkait dengan penerapan perdagangan bebas dalam kesepakatan regionalAFTA-China, maka salah satu arah dan prioritas kebijakan yang akandilaksanakan adalah pemulihan (recovery) ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mendorong dan memberi arahan kepada setiap daerah untuk secara sungguh-sungguh dan sistematis melaksanakan pemulihan ekonomi gunauntuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri Dalam Negeri

Salah satu langkah-langkah kebijakan yang diberikan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri adalah melalui Tindakan pengamanan(Safeguard) yaitu tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugianserius dan atau untuk mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalamnegeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secaralangsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugianserius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural. Selanjutnya Tindakandumping adalah menjual barang diluar negeri lebih murah dari pada harga didalam negeri, atau menjual barang di suatu Negara lebih murah dari pada di Negara lain, atau menjual barang keluar negeri atau lebih rendah dari biaya produksi dan tranformasi, di mana tindakan dumping ini baru melanggar ketentuan perdagangan internasional apabila mengakibatkan injury kepada produksi dalam negeri. Termasuk juga subsidi yaitu merupakan kontribusikeuangan oleh pemerintah atau badan publik yang memberikan keuntungan.Selanjutnya tantangan adalah merupakan suatu usaha yang bersifat menggugahkemampuan, untuk merebut dan meraih sesuatu yang ingin kita dapatkan. Makatantangan terberat bagi Indonesia sebenarnya lebih kepada faktor di dalam negeriyaitu, pembenahan sektor pendukung industri dan pertanian seperti kesiapanenergi, kualitas tenaga kerja, sistem perbankan baik dari segi suku bunga pinjaman, pembiayaan dan lain-lain agar dapatmendorong pertumbuhan industrydan perlu untuk memperbaiki sistem logistik nasional yang memungkinkan pergerakan barang, modal dan tenaga kerja agar semakin efesien di berbagaisektor. Kemudian peningkatan pengawasan di batas perdagangan Indonesia,hal iniuntuk menghindari serbuan produk illegal.Hal lain yang tidak kalah pentingya adalah peningkatan pengamanan pasar, antara lain dengan menerapkan Standart Nasional Indonesia (SNI) yang didukung kesiapan, baik secara infrastruktur, laboratorium, maupun Sumber Daya Manusia yang kompeten, serta bantuan atau program pembinaan dan peningkatan mutu produk yang diharapkan dapatmengungguli kualitas produk luar negeri.


Refrensi : http://www.academia.edu/3805139/Kebijakan_Pemerintah_di_Bidang_Industri

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005.
Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS.
Sejarah Pendirian LPS
Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas industri perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS, suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk.
Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi beroperasi.

Bentuk dan Status Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
  1. LPS dibentuk oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
  2. LPS adalah badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
  3. LPS merupakan lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
  4. LPS bertanggung jawab kepada Presiden.
  5. LPS berkedudukan di Jakarta dan dapat mempunyai kantor perwakilan di wilayah negara Republik Indonesia.
Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
  1. Menjamin simpanan nasabah penyimpan.
  2. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya.
Tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
  1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.
  2. Melaksanakan penjaminan simpanan.
  3. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
  4. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik.
    Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

  1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan.
  2. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
  3. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
  4. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
  5. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4.
  6. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
  7. Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
  8. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
  9. Menjatuhkan sanksi administratif.

Money Laundry

Pengertian Money Laundry
Pencucian uang adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hukum Pencucian Uang di Indonesia
Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:
1.      Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
2.      Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
3.      Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Model Money Loundry
Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Pada dasarnya, kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement, layering, dan integration.
a. Placement
Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke dalam sistem keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan, misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.
b. Layering
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan tranaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana ”haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin perusahaan-per usahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c. Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta kekeyaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin komppleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun integration., sehingga penanganannya pun semakin sulit dan membutuhkan peningkatan peningkatan (capacity building) secara sitematis dan berkesinambungan.Jadi dalam integration, begitu uang tersebut telah berhasil diupayakan proses pencuciannya melalui cara layering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah menjadi “uang halal” (clean money) untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini dana yang begitu besar dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan terutama yang menyangkut narkotika.. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditanganin jika ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang haram ini, yaitu kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efesiensi transaksi.
Adapun perihal proses pencucian uang, menurut Anwar Nasution, ada empat factor yang dilakukan dalam proses pencucian uang. Pertama, merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu. Kedua, mengubah bentuknya sehingga mudah untuk dibawa kemana-mana. Ketiga, Merahasiakan proses pencucian uang itu sehingga menyulitkan pelacakan oleh bpetugas hukum. Keempat, mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.

Pencegahan dan Penanggulangan pencucian uang
Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius. Di bawah ini hádala beberaa langkah yang telah diambil Pemerintah RI untuk menindak lanjuti komitmen pemberantasan kegiatan pencucian uang.
a. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.
b. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika, antara lain UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU No. 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikanUU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.
c. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.
Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan tranaksi tertentu antara lain hádala transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk pula kegiatan pencucian uang.
d. UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi internacional. UU No. 24/1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2), misalnya, mengatur sebagai berikut:
“Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
e. Ketentuan Bank Indonesia
Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara administratif, antara lain :
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang
Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu,
bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus  juta rupiah) selain wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank Indonesia.
2. Surat  Cara Pembelian Saham Bank Umum
Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan money laundering.
3. PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau
pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.
4. PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience
Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungís audit. Intern Bank Umum PBI ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota direksinya sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk Satuan kerja Unit Intern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.
5. PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank
Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu oleh bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi sarana yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang.
6. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal
Nasabah (Know Your Customers Principles)
Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa keuangan lain harus mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles For effective Banking Supervision dan Bassel Committee .

OJK ( Otorisas Jasa Keuangan )

OJK ( Otorisas Jasa Keuangan )
Sebagaimana diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem keuangan Indonesia porak poranda. Sejak itu maka lahirlah kesepakatan untuk membentuk Otoritas Jasa Keuangan yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun 2002. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan dibidani berdasarkan kesepakatan dan diamanatkan oleh UU, nyatanya sampai dengan 2002 draft pembentukan Otoritas Jasa Keuangan belum ada, sampai akhirnya UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) tersebut direvisi, menjadi UU No 24 2004 yang menyatakan tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kemudian pada tanggal 27 Oktober 2011,  RUU Otoritas Jasa Keuangan disahkan oleh DPR, dan selanjutnya Pemerintah mensahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaran Negara Republik pada tanggal 22 November 2011. Berikut merupakan ringkasan dari isi Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011.

Pengertian OJK (Otorisas Jasa Keuangan)
OJK adalah singkatan dari Otorisasi Jasa Keuangan, sebelum mengenal lebih lanjut tentang OJK kita harus lebih dahulu mengerti apa yang dimaksud dengan Jasa Keuangan. Jasa keuangan secara umum adalah istilah yang digunakan untuk merujuk jasa yang disediakan oleh industry atau organisasi keuangan salah satu bentuk perusahaan yang menyediakan jasa keuangan adalah bank, asuransi, kartu kredit dan sekuritas. Sejarah singkat mengenai Jasa Keuangan, dapat dilihat kembali dari perkembangan di amerika serikat sejak dikeluarkannya Gramm-Leach-Bliley Act pada akhir tahun 1990 yang memungkinkan perusahaan yang beroperasi di industry keuangan AS untuk bergabung.
Sedangkan yang dimaksud dengan OJK sendiri kita dapat mellihatnya pada UU no 21 tahun 2011. Menurut Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Isa Rachmatarwata dengan pembentukan OJK diharapkan dapat berperan sebagai badan pengawas industry keuangan yang bersifat netral dan konsisten dalam menjalankan aturan yang berlaku.
Menurut UU No 21 tahun 2011 Bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan OJK "adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini."
Pada dasarnya UU mengenai OJK hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Diharapkan dengan dibentuknya OJK ini dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan agar adanya pengaturan juga pengawasan yang lebih terintegrasi.
Tugas Seksi Jasa Keuangan
Menurut pasal 6 dari UU No 21 tahun 2011 tugas utama dari OJK adalah berupa melakukan pengaturan dan juga pengawasan terhadap kegiatan berikut :
·        Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan
·        Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal
·        Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
  • Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi :
    • Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
    • Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
    • Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank;
    • Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:  manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.
  • Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
    • Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
    • Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
    • Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
    • Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
    • Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
    • Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
    • Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
  • Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
    • Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
    • Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
    • Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
    • Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
    • Melakukan penunjukan pengelola statuter;
    • Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
    • Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
    • Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.
Asas-Asas OJK Dalam Menjalankan Kegiatan
Untuk melaksanakan kegiatannya OJK sendiri juga mempunyai asas-asas tertentu yang harus dijadikan pedoman yaitu :
  1. Asas Independensi, tentang sifat independensi OJK dalam melaksanakan kegiatannya 
  2. Asas Kepastian Hukum, bahwa OJK mengutamakan landasan dari UU yang berlaku untuk melakukan kegiatannya
  3. Asas Kepentingan Umum, bahwa semua kegiatan OJK didasarkan untuk melindungi dan memajukan kepentingan umum
  4. Asas Profesionalitas 
  5. Asas Integritas, OJK selalu berpegang teguh pada nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambilnya
  6. Asas Keterbukaan 
  7. Asas Akuntabilitas, bahwa semua kegiatan dari OJK sendiri dapat dipertanggungjawabkan kepada public
Nilai Strategis Otoritas Jasa Keuangan
Nilai Strategis Otoritas Jasa Keuangan adalah
·         Integritas
Integritas adalah bertindak objektif, adil, dan konsisten sesuai dengan kode etik dan kebijakan organisasi dengan menjunjung tinggi kejujuran dan komitmen.
·         Profesionalisme
Bekerja dengan Penuh Tanggung Jawab Berdasarkan Kompetensi yang Tinggi untuk Mencapai Kinerja Terbaik.
·         Sinergi
Sinergi adalah berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal secara produktif dan berkualitas.

·         Inklusif
Inklusif adalah terbuka dan menerima keberagaman pemangku kepentingan serta memperluas kesempatan dan akses masyarakat terhadap industri keuangan.
·         Visioner
Visioner adalah memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat kedepan (Forward Looking) serta dapat berpikir di luar kebiasaan (Out of The Box Thinking).

Struktur Organisasi OJK

Struktur organisasi OJK terdiri atas:
  1. Dewan Komisioner OJK; dan
  2. Pelaksana kegiatan operasional.
Struktur Dewan Komisioner terdiri atas:
  1. Ketua merangkap anggota;
  2. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
  3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
  4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
  5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
  6. Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
  7. Anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen;
  8. Anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
  9. Anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat Eselon I Kementerian Keuangan.
Pelaksana kegiatan operasional terdiri atas:
  1. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I;
  2. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis II;
  3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan Sektor Perbankan;
  4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan Sektor Pasar Modal;
  5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang Pengawasan Sektor IKNB;
  6. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko; dan
  7. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
Perlindungan Konsumen dan Masyarakat
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, yang meliputi:
  • Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
  • Meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
  • Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan

Hubungan Kelembagaan
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:
  • Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
  • Sistem informasi perbankan yang terpadu;
  • Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;
  • Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
  • Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan
  • data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota terdiri atas:

  • Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator;
  • Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;
  • Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan
  • Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.

PENGARUH KEPUASAN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR

Bagus Asta Iswara Putra, A.A Sagung Kartika Dewi Abstract The aim of this study was to examine the direct effect of job satisfaction ...