Perubahan Dan Perkembangan Dalam Organisasi

Perubahan Organisasi

Perubahan Organisasi adalah suatu proses dimana organisasi tersebut berpindah dari keadaannya yang sekarang menuju ke masa depan yang diinginkan untuk meningkatkan efektifitas organisasinya. tujuannya adalah untuk mencari cara baru atau memperbaiki dalam menggunakan  resources  dan  capabilities dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam menciptakan nilai dan meningkatkan hasil yang diinginkan.  Menurut Desplaces (2005) perubahan yang terjadi dalam organisasi seringkali membawa dampak ikutan yang selalu tidak menguntungkan. Bahkan menurut Abrahamson (2000), perubahan itu akan menimbulkan kejadian yang “dramatis” yang harus dihadapi oleh semua warga organisasi. Desplaces (2005) mengutip kajian yang dilakukan Poras dan Robertson's (1992) menyatakan bahwa kebijakan perubahan yang dilakukan oleh organisasi hanya memberikan manfaat positif bagi organisasi sebesar 38%.  Meskipun perubahan organisasi tidak langsung memberikan manfaat yang besar bagi kemajuan organisasi, namun beberapa praktisi tetap meyakini tentang pentingnya suatu organisasi untuk melakukan perubahan.

Model perubahan Kurt Lewin

Model unfreeze-change-refreeze dari Kurt Lewin sering disebut-sebut karena  Lewinlah yang paling awal mempelopori teori ini. Model Lewin ini juga banyak  menginspirasi model manajemen yang dikembangkan kemudian. Kurt Lewin mengajukan teori tiga tahap perubahan dan sering disebut sebagai pencairan (unfreeze), perubahan (change) dan pembekuan kembali   (freeze or refreeze). Meski teori tersebut sering dikritik karena dianggap terlalu sederhana, namun model Kurt Lewin masih sangat relevan dan banyak model perubahan lebih modern lainnya masih mendasari pandangan-pandangannya  pada model Kurt Lewin.

Tahap 1: Pencairan  (unfreezing)
Tahap unfreezing mungkin merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam  memahami model perubahan hingga saat ini. Tahap ini membahas tentang persiapan untuk berubah. Atau suatu kesadaran dan pemahaman bahwa perubahan mulai diperlukan, serta bersiap-siap untuk mulai menjauh dari zona kenyamanan yang ada saat ini. Tahap pertama ini sering disebut sebagai tahap persiapan diri baik secara individual maupun tim kerja, sebelum suatu perubahan dilakukan, atau menciptakan situasi yang kondusif bagi terjadinya suatu perubahan. Semakin kita merasa bahwa suatu perubahan mendesak diperlukan, maka kita akan semakin termotivasi  untuk secepatnya membuat perubahan. Lambat atau cepatnya proses pencairan menuju perubahan ini akan bergantung pada sejauhmana perimbangan kekuatan antara orang yang ‘pro’ dan ‘kontra’ dengan ide perubahan. Oleh karena itu Kurt Lewin mengembangkan teori tentang analisis medan kekuatan (force field analysis). Dalam hal ini bahwa banyak faktor kekuatan yang berbeda-beda baik yang menentang maupun yang mendukung perubahan yang perlu dianalisis. Jika faktor dukungan untuk melakukan perubahan ternyata lebih besar ketimbang faktor yang menentang, maka kita dapat mulai membuat suatu perubahan. Sebaliknya, jika ide suatu perubahan ternyata banyak menemui tantangan, maka mungkin suatu perubahan dapat dilokalisir di suatu unit atau departemen organisasi tertentu yang lebih siap menerima suatu perubahan. Dengan demikian Force Field Analysis sangat  berguna  dalam memahami dinamika perilaku proses perubahan dan akan memberikan masukan tentang bagaimana suatu perubahan  dapat dilakukan dengan baik.

Tahap 2: Perubahan (change) – atau fase transisi
Kurt Lewin menyadari bahwa perubahan bukanlah suatu sensasi spektakuler sesaat, melainkan sebuah proses yang ia sebut sebagai proses transisional. Banyak orang yang mengatakan bahwa fase ini merupakan tahap yang paling sulit karena seringkali orang tidak yakin atau bahkan takut dengan ketidak pastian dari arah perubahan. Seumpama orang yang melakukan terjun payung, ketika masih di dalam pesawat mungkin seseorang telah berhasil membulatkan keberanian untuk melakukan penerjunan, dan sudah meyakini manfaatnya. Namun ketika sejenak dalam detik-detik yang menegangkan tiba saatnya giliran kita untuk melompat, yaitu pada saat berada di bibir pintu dan pandangan kita diarahkan kebawah, maka rasa ketakutan dan was-was bisa menyerang kita kembali. Tetapi ketika akhirnya kita melakukan lompatan, pada gilirannya kita banyak belajar tentang diri kita sendiri. Tentu saja hal ini bukanlah fase yang mudah, karena seseorang butuh waktu untuk belajar dan memahami perubahan serta bekerjasama dengan orang lain dalam menempuh suatu perubahan. Oleh karena itu suatu dukungan sangat dibutuhkan, baik berupa  pelatihan, pembinaan, umpan-balik yang kesemuanya merupakan bagian dari suatu proses. Menggunakan model simulasi atau role-playing akan menggugah orang untuk mengembangkan solusi atau resolusi mereka sendiri untuk membantu membuat perubahan. Begitu juga memberikan gambaran yang jelas tentang perubahan dan  tetap mengkomunikasikan tentang perubahan akan sangat bermanfaat bagi setiap orang,  sehingga mereka tidak melupakan arah  perubahan yang dituju.

Tahap 3: Pembekuan ( freezing or refreezing)
Sebagaimana tersirat dalam pengertian freezing atau refreezing maka tahap ini adalah tentang membangun stabilitas kembali setelah perubahan dibuat. Demikian pula halnya bahwa perubahan yang telah terjadi mulai diterima sebagai norma baru. Demikian pula selanjutnya setiap orang akan membentuk hubungan baru dan menjadi nyaman dengan rutinitas mereka, yang kesemuanya berjalan dalam waktu. Namun dalam dunia saat ini, perubahan baru berikutnya bisa terjadi dalam beberapa minggu atau kurang, sehingga adanya fase pembekuan mulai menuai kritik, mengingat tidak adanya cukup waktu untuk memulihkan keadaan pada kondisi rutinitas yang nyaman. Sehingga adanya tahap pembekuan dianggap tidak sesuai dengan pemikiran modern tentang adanya perubahan yang terus menerus, dan  kadang-kadang terjadi dalam proses yang kacau sehingga fleksibilitas yang besar sangat dituntut. Dengan kata lain, pemikiran populer saat ini mulai mempertanyakan tentang konsep pembekuan. Sebaliknya, kita harus berpikir dan menyikapi tahap akhir ini secara lebih fleksibel, seperti kita memikirkan adonan “milkshake” atau es krim yang lembut dengan rasa favorit saat ini, bukan lagi berfikir tentang es balok yang beku dan kaku. Dengan pola pikir yang fleksibel ini akan lebih memudahkan kita dalam melakukan langkah ‘unfreezing’ berikutnya. Namun demikian jauh hari Kurt Lewin telah menulis, bahwa sebuah perubahan menuju tingkat yang lebih tinggi seringkali berumur pendek, dan biasanya kinerja tim kerja akan segera kembali ke tingkat sebelumnya. Kurt Lewin juga mengingatkan bahwa perubahan yang dilakukan perlu diperkuat, guna memastikan bahwa perubahan yang diinginkan dapat diterima dan dipertahankan di masa depan. Kurt Lewin pun berpendapat agar pembekuan yang dilakukan dapat mendukung perubahan lebih lanjut dan perlu dipastikan  bahwa perubahan tersebut tidak menguap begitu saja. Model ADKAR adalah model yang lebih modern tentang  perubahan yang secara eksplisit menganjurkan tentang  langkah penguatan sebagai salah satu fase yang perlu dilakukan. Disamping  itu suatu pembekuan perlu dikunci sebagai langkah terakhir. Selama ini kita selalu berfikir, bahwa bicara mengenai perubahan merupakan sebuah perjalanan yang memiliki awal, tengah, dan akhir. Namun ada baiknya sekarang kita  berpikir dan menerima  kenyataan bahwa perjalanan tersebut tidak memiliki akhir. Perlu beristirahat dan berhenti sejenak masih dimungkinkan! Namun perlu disadari bahwa saat ini kita tengah menempuh suatu perjalanan perubahan yang  tiada akhir. Karenanya perlu  berhati-hati dalam berpikir seolah proses perubahan memiliki akhir yang pasti, dan nampaknya model manajemen perubahan dari Kurt Lewin seolah-olah menyarankan hal demikian. Namun,  model Kurt Lewin tetap berguna dalam membingkai suatu proses perubahan yang lebih mudah dimengerti. Tentu saja setiap tahap dapat diperluas untuk membantu pemahaman yang lebih baik tentang proses perubahan. Memahami  konsep unfreezing sekaligus menguasai  analisis medan kekuatan, tentunya akan menambah wawasan dan membantu kita agar lebih memahami tentang bagaimana kita berurusan dengan suatu perubahan.


Faktor Penyebab Perubahan Pada Organisasi

Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah penyebab perubahan yang berasal dari luar  atau sering disebut lingkungan.  Sebuah organisasi modern  responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di lingkungannya. Dalam kenyataannya, banyak sekali penyebab perubahan yang termasuk faktor eksternal, antara lain:
·         Politik
·         Hukum
·         Kebudayaan
·         Teknologi
·         Sumber Daya Alam
·         Demografi
·         Sosiologi
·         Arus globalisasi.

Perkembangan dan kemajuan teknologi merupakan penyebab penting dilakukannya perubahan pada hampir semua jenis organisasi. Penerapan temuan teknologi tersebut menyebabkan  perubahan dalam berbagai hal, misalnya prosedur kerja yang dilakukan, jumlah, kompetensi, dan kualifikasi SDM yang diperlukan, sistem penggajian yang diberlakukan, dan bahkan kadang-kadang struktur organisasi yang digunakan. Penggunaan peralatan baru bisa juga menyebabkan berkurangnya bagian-bagian yang ada  atau berubahnya pola hubungan kerja antara karyawan.
Organisasi Juga terselenggara di tengah-tengah masyarakat yang menganut sistem pemerintahan tertentu. Konsekuensinya,  organisasi harus tunduk kepada berbagai peraturan pemerintah yang berlaku. Jika suatu saat pemerintah memberlakukan aturan baru maka organisasi harus melaksanakannya dengan kemungkinan melakukan perubahan internal sesuai dengan isi peraturan baru tersebut. Peraturan itu dapat saja menyangkut input, mekanisme kerja, persyaratan kualifikasi dan kompetensi SDM, dan lainnya. Peraturan apapun yang pada akhirnya diberlakukan, harus dilaksanakan dengan cara dan strategi yang paling efisien.

 Akhir-akhir ini tuntutan untuk mengikuti arus globalisasi tidak mungkin dibendung lagi. Itulah sebabnya berbagai strategi dan kebijakan yang dianggap sesuai, wajib ditempuh oleh suatu organisasi. Penerapan berbagai kebijakan sperti itu akan mengubah secara signifikan kondisi internal , khususnya menyangkut mekanisme kerja organisasi.

Faktor Internal
Faktor internal adalah penyebab dilakukannya perubahan yang berasal dari dalam   yang bersangkutan, antara lain:
·         Perubahan kebijakan pimpinan
·         Perubahan tujuan
·         Perluasan wilayah operasi tujuan
·         Volume kegiatan bertambah banyak
·         Sikap & perilaku dari anggota organisasi

Hubungan antar komponen   yang kurang harmonis merupakan salah satu problem yang lazim terjadi. Problem ini dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu (1) problem yang menyangkut hubungan atasan-bawahan (bersifat vertikal), dan (2) problem yang menyangkut hubungan sesama anggota yang kedudukannya setingkat (bersifat horizontal). Problem atasan-bawahan yang sering timbul menyangkut pengambilan keputusan dan komunikasi. Problem-problem yang bersumber dari keputusan pimpinan, dapat menyebabkan munculnya berbagai perilaku negatif pada bawahan  yang kurang menguntungkan organisasi, misalnya sering terlambat datang, sering absen, mangkir, dan sejenisnya. Sampai pada titik tertentu, problem semacam itu dapat menyebabkan munculnya unjukrasa sehingga memaksa pimpinan untuk mengambil tindakan yaitu mengubah keputusan yang diambil atau justru menindak  bawahan yang berunjukrasa. Komunikasi antara atasan dan bawahan juga sering menimbulkan problem. Keputusannya sendiri mungkin baik (dalam arti dapat diterima oleh bawahan) tetapi karena terjadi salah informasi (miscommunication), bawahan menolak keputusan pimpinan. Dalam kasus seperti itu perubahan yang dilakukan akan menyangkut sistem saluran komunikasi yang digunakan.

Problem yang sering timbul berkaitan dengan hubungan sesama anggota (warga  ) pada umumnya menyangkut masalah komunikasi (kurang lancar  atau macetnya komunikasi antar warga), dan juga menyangkut masalah kepentingan masing-masing warga. Persoalan seperti itu sering menimbulkan konflik antar warga sehingga perlu dilakukan perubahan, misalnya dalam hal jalur komunikasi atau bahkan struktur organisasi yang digunakan.

Di samping berbagai persoalan di atas, mekanisme kerja yang berlangsung dalam sebuah   kadang-kadang juga merupakan penyebab dilakukannya perubahan. Problem yang timbul dapat menyangkut masalah sistemnya sendiri dan dapat pula terkait dengan perlengkapan atau peralatan yang digunakan. Pola kerjasama yang terlalu birokratis atau sebaliknya terlalu bebas misalnya, dapat menyebabkan suatu organisasi menjadi tidak efisien. Sistem yang terlalu kaku menyebabkan hubungan antar anggota menjadi impersonal yang mangakibatkan rendahnya semangat kerja dan pada gilirannya menurunkan produktivitas kerja. Demikian juga halnya jika sistem yang digunakan terlalu bebas. Perubahan yang harus dilakukan dalam hal ini akan menyangkut struktur organisasi yang digunakan. Dengan mengubah struktur, pola hubungan antar anggota akan mengalami perubahan.

Kesulitan keuangan yang dialami kadang-kadang juga memaksa untuk dilakukannya perubahan, misalnya penciutan daerah operasi, rasionalisasi, perubahan struktur organisasi, dan sebagainya.

Resistansi/Penolakan Pada Perubahan
Perubahan pada dasarnya diupayakan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Namun pada kenyataannya tidak setiap perubahan akan mendapat dukungan. Ketidaksetujuan atau bahkan pertentangan yang dilandasi oleh berbagai alasan mengharuskan kereka yang berjuang untuk perubahan perlu memahami hal yang berkenaan dengan persepsi dan keyakinan. Sehubungan dengan hal tersebut, Wilfried Kruger (2009) menyarankan hendaknya perubahan senantiasa dikaitkan dengan pengelolaan persepsi dan keyakinan (Management of Perception and Beliefs) dan Pengelolaan. Kekuasaan dan Politik (Power and Politics Management) mengingat reaksi orang terhadap perubahan berbeda-beda.

Berikut adalah pengelompokan reaksi dan bagaimana cara mengatasinya menurut Kruger:
·         Opponent; memiliki sikap dan perilaku negatif pada perubahan. Golongan ini perlu dikendalikan dengan   Management of Perception and Belief
·         Promoter; memiliki sikap dan perilaku positif pada perubahan. Mereka mendapat keuntungan dari perubahan dan pasti akan mendukung perubahan tersebut.
·         Hidden Opponents; memiliki sikap dan perilaku negatif pada perubahan namun seolah-olah mendukung perubahan tersebut (Opportunist). Golongan ini perlu dikendalikan dengan Management of Perception and Belief dengan Issue Management
·         Potential Promoter; memiliki sikap positif pada perubahan namun belum terlalu yakin. Golongan ini perlu dikendalikan dengan Power and Politics Management.
Antisipasi terhadap kelompok yang agak negatif terhadap perubahan perlu juga menjadi bahan pertimbangan terutama berkaitan dengan alasan penolakan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan penolakan tersebut. Kegagalan dalam hal ini akan mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam melakukan perubahan ke arah yang diinginkan. Penolakan atau penentangan pada perubahan pada dasarnya berasal dari individu atau organisasi itu sendiri. Berikut adalah alasan penolakan terhadap perubahan seperti yang diungkapkan oleh Robbins (2000) dan Kreitner & Kinicki (2001) berikut ini :
1.      Kebiasaan
Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang hidup dari kebiasaan yang dibangunnya. Kebiasaan ini akan lebih mempermudah manusia untuk menjalankan kehidupannya yang sudah cukup kompleks. Saat dihadapkan pada perubahan, maka manusia akan cenderung untuk enggan melakukan penyesuaian atas kebiasaan yang selama ini ia lakukan


2.      Ketakutan terhadap munculnya dampak yang tidak diinginkan
Perubahan tak jarang menimbulkan ketidak-pastian, karena perubahan membuat seseorang bergerak dari suatu situasi yang ia ketahui menuju pada situasi yang tidak diketahuinya. Akibatnya orang yang bersangkutan akan merasa takut bahwa dampak perubahan akan merugikan dirinya.
3.      Faktor-faktor ekonomi
Berkurangnya penghasilan, kenaikan gaji yang tidak sesuai harapan, meningkatnya ongkos angkutan, merupakan faktor-faktor ekonomi yang dapat menjadi penyebab munculnya resistensi terhadap perubahan. Bila perubahan memberikan dampak ekonomi yang cukup besar terhadap seseorang, maka dapat diramalkan bahwa resistensi dari orang yang bersangkutan terhadap perubahan akan semakin kuat.
4.      Tidak adanya kepercayaan dalam situasi kerja
Seorang manajer yang membangun hubungan kerja dengan bawahannya atas dasar ketidak-percayaan, akan lebih mungkin menghadapi resistensi dari bawahannya bila ia menggulirkan perubahan. Sementara seorang manajer yang mempercayaai bawahannya akan memperlakukan perubahan sebagai hal yang sifatnya terbuka, jujur dan partisipatif. Di sisi lain, bawahan yang dipercaya oleh atasannya akan mungkin untuk melakukan upaya yang lebih baik dalam menghadapi perubahan dan melihat perubahan sebagai sebuah kesempatan. Hal ini terjadi karena tumbuhnya kepercayaan/ketidak-percayaan dalam hubungan kerja bersifat timbal balik.
5.      Takut mengalami kegagalan
Proses perubahan pada pekerjaan yang bersifat menekan karyawan, akan dapat dapat memunculkan keraguan pada karyawan akan kemampuannya untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Keraguan ini lambat laun akan mengkikis kepercayaan dirinya dan melumpuhkan pertumbuhan dan perkembangan dirinya.
6.      Hilangnya status atau keamanan kerja
Pemanfaatan teknologi atau sistim administrasi yang baru di dalam dunia kerja, pada satu sisi dapat mempercepat proses kerja. Namun pada sisi lainnya akan dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah pekerjaan. Dampak inilah yang dikawatirkan oleh para karyawan bila terjadi perubahan. Buat sebagian besar karyawan hilangnya pekerjaan dapat diartikan sebagai hilangnya status dan juga hilangnya penghasilan. Untuk alasan inilah maka, para karyawan cenderung untuk resisten terhadap perubahan
7.      Tidak ada manfaat yang diperoleh dari perubahan
Seseorang akan melakukan resistensi terhadap perubahan bila yang bersangkutan memperkirakan atau melihat bahwa dirinya tidak akan mendapatkan manfaat bila melakukan perubahan.

Strategi menghadapi penolakan perubahan
Untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan tersebut diatas, lebih lanjut Kotter dan Schlesinger (Supardi dan Anwar, 2004:122) menganjurkan enam cara berikut ini:
·         Pendidikan dan komunikasi yang dilakukan guna menginformasikan perubahan-perubahan yang direncanakan
·         Partisipasi dan keterlibatan dalam perancangan perubahan supaya memiliki rasa tanggung jawab dalam pelaksanaannya.
·         Kemudahan dan dukungan yang diberikan pimpinan pada semua pihak yang terkait dengan perubahan
·         Negosiasi dan persetujuan; melakukan berbagai pertukaran atau persetujuan yang saling menguntungkan dengan para penolak potensial
·         Manipulasi dan “kerja sama”; menjauhkan atau” bekerja sama” dengan para penentang perubahan agar lebih kooperatif terhadap perubahan
·         Paksaan dengan pemberian sangsi pemecatan atau pemindahan dan penundaan promosi pada setiap penentang perubahan.
Semua jenis perubahan termasuk unsur yang hendak diubah dalam organisasi, sumberdaya manusia yang terlibat didalamnya, serta kemungkinan penolakan yang muncul dari perubahan jika tidak dikelola dengan baik maka perubahan hanya akan menghamburkan tenaga dan biaya dan tidak membawa organisasi secara keseluruhan pada situasi yang lebih baik dan berkualitas. Oleh karena itu manajemen of change merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya pengembangan organisasi yang efektif.

Referensi

Supardi, dan Anwar, Syaiful. (2002). Dasar-dasar Perilaku Organisasi. Jogjakarta: UII Press.
Prof.Dr.Wibowo,SE.,Mphil. Managing Change: Alfabeta


No comments:

Post a Comment

PENGARUH KEPUASAN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR

Bagus Asta Iswara Putra, A.A Sagung Kartika Dewi Abstract The aim of this study was to examine the direct effect of job satisfaction ...