Pengertian Money Laundry
Pencucian uang adalah suatu upaya perbuatan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil
tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan
tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak
pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit
ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta
Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena
itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan
integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Hukum Pencucian Uang di Indonesia
Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan
dalam tiga tindak pidana:
1. Tindak pidana pencucian uang aktif,
yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
2. Tindak pidana pencucian uang pasif
yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut
dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi
Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
3. Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010,
dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang
yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun
dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup
berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan
denda paling banyak 10 miliar rupiah.
Model Money Loundry
Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat
kompleks. Pada dasarnya, kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang
masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu
placement, layering, dan integration.
a.
Placement
Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana
yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke dalam sistem keuangan. Dalam
hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui penyelundupan uang
tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang
berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah,
ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan,
misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga
mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta
asing.
b.
Layering
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari
sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan
tranaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa
rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui
serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui
sumber dana ”haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan
sebanyak mungkin perusahaan-per usahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan
rahasia bank.
c.
Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta kekeyaan yang telah
tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai
bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kembali
kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu
mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan biaya yang harus dikeluarkan,
karena tujuan utamanya adalah menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang
sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga
kegiatan di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya
dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke
waktu semakin komppleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang
cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun
integration., sehingga penanganannya pun semakin sulit dan membutuhkan
peningkatan peningkatan (capacity building) secara sitematis dan
berkesinambungan.Jadi dalam integration, begitu uang tersebut telah berhasil
diupayakan proses pencuciannya melalui cara layering, maka tahap selanjutnya
adalah menggunakan uang yang telah menjadi “uang halal” (clean money) untuk
kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi
kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.Kesemua perbuatan dalam proses
pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini dana yang begitu
besar dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk
terus berproses dalam dunia kejahatan terutama yang menyangkut narkotika..
Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para
pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka
menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan
yang harus ditanganin jika ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang
haram ini, yaitu kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan
efesiensi transaksi.
Adapun perihal proses pencucian uang, menurut Anwar
Nasution, ada empat factor yang dilakukan dalam proses pencucian uang. Pertama,
merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan
itu. Kedua, mengubah bentuknya sehingga mudah untuk dibawa kemana-mana. Ketiga,
Merahasiakan proses pencucian uang itu sehingga menyulitkan pelacakan oleh
bpetugas hukum. Keempat, mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.
Pencegahan dan Penanggulangan
pencucian uang
Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang)
dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti
pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya
pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB
dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and
Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah
melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka
setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang
sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang
berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil
perdagangan obat bius. Di bawah ini hádala beberaa langkah yang telah diambil
Pemerintah RI untuk menindak lanjuti komitmen pemberantasan kegiatan pencucian
uang.
a.
Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan psikotropika, antara lain UU No. 8
Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri
Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor
Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata
cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal
tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.
b.
Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika, antara lain UU N. 8 Tahun
1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang
Mengubahnya, UU No. 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikanUU No. 9
Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang
dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22
Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam
pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.
c.
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia
dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap
suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.
Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang
dimaksud dengan tranaksi tertentu antara lain hádala transaksi dalam jumlah
besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini
tentunya termasuk pula kegiatan pencucian uang.
d.
UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat
dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi internacional. UU No.
24/1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini.
Pasal 3 ayat (2), misalnya, mengatur sebagai berikut:
“Setiap
penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas
devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai
dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara
tujuan atau asal pelaku transaksi.
e.
Ketentuan Bank Indonesia
Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
yang secara langsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas
kegiatan money laundering secara administratif, antara lain :
1.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang
Perubahan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran
atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang yang membawa mata uang Rupiah
ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu,
bagi
setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah
RI dengan jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) selain
wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
2.
Surat Cara Pembelian Saham Bank Umum
Pasal
6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham
bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan money
laundering.
3.
PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
Pasal
6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin
pendirian bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat
pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money
laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang
digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau
pembelian
saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.
4.
PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience
Director)
dan Penerapan Standar Pelaksanaan FungÃs audit. Intern Bank Umum PBI ini
bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku.
Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota direksinya
sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan
Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbankan.
Bank juga diwajibkan untuk membentuk Satuan kerja Unit Intern yang bertugas
melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.
5.
PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit
Valas oleh Bank
Dalam
ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu oleh
bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status penduduk
tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank/badan hukum
Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi sarana
yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan
kegiatan pencucian uang.
6.
Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal
Nasabah
(Know Your Customers Principles)
Sebagai
salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa
keuangan lain harus mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana pencucian
uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi
dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang
mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau
perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih
dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle) ini didasari
pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian
uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi
bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai risiko dalam berhubungan
dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya
terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para
nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan
pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi FATF, yang
merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles For
effective Banking Supervision dan Bassel Committee .